24 July 2008

Cinta dari Darah dan Ruh

LELAKI itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khattab. "Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?" Lalu Umar menjawab, "Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu."

Tidak! Tidak! Tidak!

Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati, ibu dan bapak. Tapi ia tidak dititipkan dalam dua rahim. Ia dititipkan dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: di sana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititipkan dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cintga ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipetanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya "Kedudukan Sunah dalam Syariat Islam". Buku itu, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya: "Ya Allah, jadikanlah anakku sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak."
Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul!

(Anis Matta - Tarbawi)

2 komentar:

rafkirasyid on July 26, 2008 at 7:58 AM said...

Saya sudah sering mendengar cerita ini. Tapi membacanya dari postingan ini tetap membuat saya merinding.

Pak, saran saya sebaiknya settingan komentarnya jangan terlalu diprotect. Saya kesulitan memasukan alamat blog saya. Trims.

http://rafkirasyid.com

Anonymous said...

hemmmm....
mudah2an anak2 kita adalah anak2 yang bibirnya selalu basah dengan dzikir dan do'a2...
(sedikit memberi "beban" ke mereka....>>>> mendoakan kita kelak)

Post a Comment

Berikan komentar Anda dengan santun

 
free counters

Pokjar nGeblog