15 September 2008

Ayah, Anak dan Seekor Keledai

PAGI di sebuah rumah sederhana ....

Seorang lelaki tua berjalan menuntun seekor keledai yang sudah tua juga. Di belakangnya, berjalan seorang anak, mengikuti.

“Nak, nanti kita bergantian menunggang keledai ini,” kata sang lelaki tua kepada anak yang tak lain adalah anaknya.

“Baiklah, Yah,” jawab anak singkat.

Giliran pertama, sang ayah naik. Itu kesepakatan di antara mereka berdua.

Belum jauh mereka melangkah, mereka berpapasan dengan penduduk desa.

“Dasar orang tua tak kenal kasihan. Masak anaknya yang masih kecil disuruh menuntun keledai. Sedang ia enak-enakan naik keledai.”

Mendengar hal itu, sang ayah pun turun. Dan ia pun meminta anaknya untuk naik ke punggung keledai.

Jeda beberapa langkah, seorang penduduk desa yang hendak pergi ke luar kota menghardik anak lelaki tua itu.

“Hai, anak muda. Kulihat kaki-kakimu masih kokoh untuk berjalan. Kenapa tidak kau biarkan ayahmu yang sudah renta itu untuk naik di atas keledai. Apakah engkau hendak menjadi anak yang durhaka. Ha!”

Buru-buru sang anak turun.

Kedua bapak-anak itu pun tertegun. Bingung harus bagaimana. Siapa yang harus naik keledai mereka.

Maka diputuskan, mereka menaiki keledai itu berdua agar sang ayah tidak dikatakan tak sayang anak, dan sang anak pun tidak dikatakan anak durhaka.

Namun sayang. Ulah mereka pun mendapat teguran dari seorang ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya.

“Hai manusia-manusia yang tak berakal. Bagaimana kalian bisa menaiki keledai yang sudah tua dan jalan terseok-seok itu? Tidakkah kalian merasa kasihan kepada keledai itu? Bukankah itu perbuatan zholim?”

Dihardik demikian bapak anak tadi segera buru-buru turun dari atas keledai.

Keduanya makin bingung. Sedang perjalanan mereka masih jauh. Tapi apa boleh buat.

Akhirnya keduanya hanya menuntun keledai yang mereka bawa.

Di dekat sebuah kebun kurma, beberapa orang yang sedang berkumpul nampak menertawakan bapak-anak tersebut.

“Hai kawan, lihatlah orang-orang gila itu!” teriak salah seorang diantara mereka.

“Punya hewan tunggangan kok tidak ditunggangi!” lanjutnya. Teman-temannya segera ikut menertawakannya.

Sang ayah segera mempercepat langkahnya. Setelah cukup jauh dari kerumunan orang tadi, ia berujar kepada anaknya.

“Nak, lihatlah. Apa yang kita alami hari ini. Jika kita hanya mengikuti pendapat orang-orang di sekeliling kita, maka itu tiada habisnya.”

0 komentar:

Post a Comment

Berikan komentar Anda dengan santun

 
free counters

Pokjar nGeblog