01 August 2008

Metamorphosis!

MASIH ingat dengan kisah si Ulat Kecil? Yah, ulat kecil yang rakus, yang menghuni kebunku. Setelah beberapa hari makan tiada henti, kini ia tidur berselimutkan kepompong. Menggantung di bawah daun pisang yang sudah tidak utuh lagi. Masih sama, siang dan malam tidur. Baginya seolah waktu berhenti. Setelah berhari-hari tiada henti makan dan makan, maka aku akan tidur berhari-hari. Mungkin begitu yang ia rasakan.

Beberapa hari kemudian, kepompong tempat tinggal si ulat kecil telah kosong. Tinggal kepompongnya yang transparan tergantung di bawah daun pisang, robek. Tahukah sahabat, kemana pergi si ulat kecilku? Seperti apakah rupanya kali? Masihkah ia seperti dulu? Hijau, berkaki banyak, membuat geli dan takut orang yang melihatnya? Tidak. Ia tidak seperti yang dulu lagi. Ia sudah bukan si ulat kecil lagi, ia telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Menyenangkan bagi yang melihatnya. Terbang melayang perlahan dengan sayapnya yang tetap mungil dan indah.

Ya, ia telah berubah. Ia telah bermetamorfosis. Berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dimana, keadaannya yang baru berbeda jauh dari keadaannya yang lama.

Sahabat.....

Tahukah engkau Fudhail bin Iyadh? Ia seorang yang membaktikan dirinya mengurusi air minum para jamaah haji. Ia juga menjadi seorang ahli hadits, yang menjadi rujukan di kota Makkah.

Namun, tahukah sahabat, Siapa Fudhail sebelum itu semua?

Fudhail, dikenal sebagai pemuda yang cerdas, berwibawa dari Khurasan. Ia pandai bergaul. Tidak hanya dari kalangan Muslim saja, tetapi banyak pemuda Yahudi dan Nashrani ikut bergabung dengan kelompok yang ia dirikan.

Namun sayang, kelompok yang ia pimpin dikenal sebagai gerombolan perampok! Tak heran, jika nama Fudhail sangat dikenal dan ditakuti, baik di kalangan sesama penyamun, maupun di kalangan kafilah niaga yang sering menjadi sasaran mereka.

Suatu malam yang gelap gulita, ketika seisi kampung mulai terlelap. Dengan mengendap-endap, ia mendatangi rumah sang pujaan hatinya. Naik ke atas genteng seperti yang biasa ia lakukan. Tak seorangpun yang menetahuinya. Tidak berapa lama, lewatlah serombongan kafilah yang sedang kemalaman. Untuk menghilangkan rasa takut dari serangan penyamun, seorang diantara mereka berjalan sambil melantunkan ayat-ayat al Qur-an. Kebetulan yang dibacanya adalah ayat, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, supaya hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang diturunkan (kepada mereka)?” (QS Al Hadid: 16)

Mendengar itu, tiba-tiba saja Fudhail menggigil. Dari tubuhnya mengalir keringat dingin. Ia tak kuasa menahan rasa taku, air matanya pun mengalir tak terbendung. Ia menangis, berteriak histeris, “Sekarang telah datang waktunya! Sekarang telah datang waktunya!” Merasakan seakan-akan ayat tersebut ditujukan khusus kepadanya.

Di dalam kesendirian, ia melompat dari atas genteng. Berlari sekuat tenaga menembus gelapnya malam, menuju rumahnya. Pulang. Namun, karena malam telah larut, ia terpaksa berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua, yang telah lebih dulu disinggahi serombongan kafilah dagang. Ia masuk tanpa diketahui oleh mereka. Tetapi, belum lagi ia sempat mengatur nafasnya, seorang di antara mereka berkata, “Mari kita teruskan perjalanan.” Temannya menyahut, “Bagaimana kalau di tengah jalan kita dihadang Fudhail?”

Mendengar percakapan itu, Fudhail menangis sedih. Ia berkata, “Namaku disebut orang di malam hari karena kemaksiatan, sedang mereka meresa takut denganku. Tidaklah Allah menunjukkan aku kepada mereka, melainkan agar aku sadar. Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu.”

Esoknya, Fudhail berangkat ke Kufah, Irak. Untuk menuntut ilmu, meninggalkan keluarga, sahabat dan anak buahnya, ditemani sunyi dan kesendirian. Di sana ia belajar dengan sungguh-sungguh. Sebagai pemuda cerdas yang haus ampunan dan kasih sayang Allah, Allah membukakan dadanya untuk menerima banyak ilmu hingga ia menjadi ahli hadits.

Sahabat.....

Fudhail bin Iyadh telah bermetamorfosa. Dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Dari seorang penyamun yang disegani dan ditakuti, menjadi seorang ahli ilmu dan hadits, yang disegani dan dihormati. Tak terkecuali Khalifah Harun Ar Rasyid, yang kerap datang jauh-jauh dari Baghdad (Irak) menuju ke Makkah, menemuinya hanya untuk mendengar nasihatnya.

Sahabat...

Bagaimanakah dengan kita? Sudahkah kita bermetamorfosa? Meninggalkan sebuah dosa yang pernah kita buat, dan menggantinya dengan sejuta kebaikan. Butuh berapa kejadiankah agar kita bermetamorfosa? Tidak ada kita terlambat. Kita bisa bermetamorfosa. Seperti ulat yang menjadi kupu-kupu. Seperti Fudhail bin Iyadh. Seperti kita.

1 komentar:

Anonymous said...

pak aku mrinding bacanya....
ada yang sehingga merasa belum berbuat apa-apa untuk menjadi lebih baik di kemudian hari (ber-metamorphosis).... lalai, khilaf atau kebebalan... yang harus segera di definisikan...
terima kasih postingannya.... sangat, sangat mengingatkan.

Post a Comment

Berikan komentar Anda dengan santun

 
free counters

Pokjar nGeblog